I.
Pendahuluan
Lahirnya organisasi SAR di Indonesia yang saat ini bernama BASARNAS
diawali dengan adanya penyebutan Black
Area, bagi suatu negara yang tidak memiliki organisasi SAR.
Dengan berbekal kemerdekaan, maka tahun 1950 Indonesia masuk menjadi
anggota organisasi penerbangan internasional ICAO (International Civil Aviation
Organization). Sejak saat itu Indonesia diharapkan mampu menangani musibah
penerbangan dan pelayaran yang terjadi di Indonesia.
Sebagai konsekuensi logis atas masuknya Indonesia menjadi anggota
ICAO tersebut, maka pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun
1955 tentang Penetapan Dewan Penerbangan untuk membentuk panitia SAR. Panitia
teknis mempunyai tugas pokok untuk membentuk Badan Gabungan SAR, menentukan
pusat-pusat regional serta anggaran pembiayaan dan materil.
Sebagai negara yang merdeka, tahun 1959 Indonesia menjadi anggota
International Maritime Organization (IMO). Dengan masuknya Indonesia sebagai
anggota ICAO dan IMO tersebut, tugas dan tanggung jawab SAR semakin mendapat
perhatian. Sebagai negara yang besar dan dengan semangat gotong royong yang
tinggi, bangsa Indonesia ingin mewujudkan harapan dunia international yaitu
mampu menangani musibah penerbangan dan pelayaran.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut diatas, maka timbul pemikiran
bahwa perlu diadakan suatu organisasi SAR Nasional yang mengkoordinir segala
kegiatan-kegiatan SAR dibawah satu komando. Untuk mengantisipasi tugas-tugas
SAR tersebut, maka pada tahun 1968 ditetapkan Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor T.20/I/2-4 mengenai ditetapkannya Tim SAR Lokal Jakarta yang
pembentukannya diserahkan kepada Direktorat Perhubungan Udara. Tim inilah yang
akhirnya menjadi embrio dari organisasi SAR Nasional di Indonesia yang dibentuk
kemudian.
Pada tahun 1968 juga, terdapat proyek South East Asia Coordinating
Committee on Transport and Communications, yang mana Indonesia merupakan proyek
payung (Umbrella Project) untuk negara-negara Asia Tenggara. Proyek tersebut
ditangani oleh US Coast Guard (Badan SAR Amerika), guna mendapatkan data yang diperlukan
untuk rencana pengembangan dan penyempurnaan organisasi SAR di Indonesia
Dalam kegiatan survey tersebut, tim US Coast Guard didampingi
pejabat - pejabat sipil dan militer dari Indonesia, tim dari Indonesia membuat
kesimpulan bahwa :
Instansi pemerintah baik sipil maupun militer sudah mempunyai unsur
yang dapat membantu kegiatan SAR, namun diperlukan suatu wadah untuk menghimpun
unsur-unsur tersebut dalam suatu sistem SAR yang baik. Instansi-instansi
berpotensi tersebut juga sudah mempunyai perangkat dan jaringan komunikasi yang
memadai untuk kegiatan SAR, namun diperlukan pengaturan pemanfaatan jaringan
tersebut.
Personil dari instansi berpotensi SAR pada umumnya belum memiliki
kemampuan dan keterampilan SAR yang khusus, sehingga perlu pembinaan dan latihan.
Peralatan milik instansi berpotensi SAR tersebut bukan untuk
keperluan SAR, walaupun dapat digunakan dalam keadaan darurat, namun diperlukan
standardisasi peralatan.
Hasil survey akhirnya dituangkan pada Preliminary Recommendation yang berisi saran-saran yang perlu
ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mewujudkan suatu organisasi SAR di
Indonesia.
Berdasarkan hasil survey tersebut ditetapkan Keputusan Presiden
Nomor 11 tahun 1972 tanggal 28 Februari 1972 tentang pembentukan Badan SAR
Indonesia (BASARI).
Adapun susunan
organisasi BASARI terdiri dari :
·
Unsur Pimpinan
·
Pusat SAR Nasional (Pusarnas)
·
Pusat-pusat Koordinasi Rescue
(PKR)
·
Sub-sub Koordinasi Rescue (SKR)
·
Unsur-unsur SAR
Pusarnas merupakan unit Basari yang bertanggungjawab sebagai pelaksana
operasional kegiatan SAR di Indonesia. Walaupun dengan personil dan peralatan
yang terbatas, kegiatan penanganan musibah penerbangan dan pelayaran telah
dilaksanakan dengan hasil yang cukup memuaskan, antara lain Boeing 727-PANAM
tahun 1974 di Bali dan operasi pesawat Twinotter di Sulawesi yang dikenal
dengan operasi Tinombala.
Secara perlahan Pusarnas terus berkembang dibawah pimpinan (alm)
Marsma S. Dono Indarto. Dalam rangka pengembangan ini pada tahun 1975 Pusarnas
resmi menjadi anggota NASAR (National Association of SAR) yang bermarkas di
Amerika, sehingga Pusarnas secara resmi telah terlibat dalam kegiatan SAR
secara internasional. Tahun berikutnya Pusarnas turut serta dalam kelompok
kerja yang melakukan penelitian tentang penggunaan satelit untuk kepentingan
kemanusiaan (Working Group On Satelitte Aided SAR) dari International
Aeronautical Federation.
Bersamaan dengan pengembangan Pusarnas tersebut, dirintis kerjasama
dengan negara-negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, dan Australia.
Untuk lebih mengefektifkan kegiatan SAR, maka pada tahun 1978
Menteri Perhubungan selaku kuasa Ketua Basari mengeluarkan Keputusan Nomor
5/K.104/Pb-78 tentang penunjukkan Kepala Pusarnas sebagai Ketua Basari pada
kegiatan operasi SAR di lapangan. Sedangkan untuk penanganan SAR di daerah
dikeluarkan Instruksi Menteri Perhubungan IM 4/KP/Phb-78 untuk membentuk Satuan
Tugas SAR di KKR (Kantor Koordinasi Rescue).
Untuk efisiensi pelaksanaan tugas SAR di Indonesia, pada tahun 1979
melalui Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1979, Pusarnas yang semula berada
dibawah Basari, dimasukkan kedalam struktur organisasi Departemen Perhubungan
dan namanya diubah menjadi Badan SAR Nasional (BASARNAS).
II. Maksud dan Tujuan
Hakekat Search And Rescue (SAR) adalah suatu kegiatan kemanusiaan
yang dijiwai oleh falsafah pancasila dan merupakan kewajiban bagi setiap warga
negara. Kegiatan tersebut meliputi segala upaya pencarian, pemberian
pertolongan dan penyelamatan jiwa manusia dan harta benda yang bernilai dari
berbagai musibah baik dalam perlindungan, pelayanan, bencana alam, maupun
bencana yang lainnya.
Sebagai salah satu komponen masyarakat yang memiliki rasa
kemanusiaan, maka SAR merupakan perwujudan rasa tanggungjawab akan keselamatan
sesama. Oleh karena itu, materi SAR diberikan untuk membekali anggota sendiri
akan ilmu dan teknik serta keorganisasian SAR yang ada, juga memberikan wawasan
dan bekal ketrampilan untuk memberikan pertolongan SAR gunung hutan.
Sebagai salah satu konsekuensi kegiatan yang digelutinya, dimana
resiko akan selalu ada, maka SAR merupakan sebuah materi yang tidak mungkin
terpisahkan. Memberikan bekal seoptimal mungkin merupakan tujuan dan kegunaan
dari pendidikan ini.
III. Pendekatan Sistem SAR
Keseluruhan sistem pendekatan adalah digunakan untuk mengatasi
masalah SAR. Kehadiran bentuk gambaran SAR secara menyeluruh yaitu :
a.
Dengan segera dapat cepat
dimengerti oleh seseorang yang masih awam dalam bidang SAR.
b.
Secara logis dapat dilaksanakan
oleh pasukan operasi selama dituntut adanya misi SAR.
IV. Sistem SAR
Sistem SAR terdiri dari lima tahapan dan didukung oleh lima komponen
SAR. Sistem SAR diaktifkan bila diterima informasi bahwa :
a.
Muncul suatu keadaan darurat
atau kemungkinan akan timbulnya keadaan darurat.
b.
Tidak diaktifkannya kembali
apabila korban yang berada dalam keadaan darurat dibebaskan ke posisi terawat
dan betul-betul aman atau ketika tidak mungkin lagi muncul keadaan darurat dan
ketika tidak lagi diharapkan pertolongan.
V. Tahapan SAR
Dalam
penyelenggaraan operasi SAR terdapat 5 tahapan, yaitu :
1. Awareness Stage (Tahap Kekhawatiran)
Adalah kekhawatiran bahwa suatu keadaan darurat diduga akan muncul,
termasuk didalamnya penerimaan informasi dari seseorang atau organisasi. Dalam
tahap ini menyadari bahwa suatu kejadian darurat telah terjadi dan perlunya
mengambil suatu tindakan.
2. Initial Action Stage (Tahap Kesiagaan)
Adalah tahapan tindakan awal, tanggap bahwa suatu musibah telah
terjadi serta berusaha mengumpulkan berbagai keterangan mengenai musibah. Aksi
persiapan yang diambil antara lain menyiagakan fasilitas SAR dan mendapatkan
informasi yang lebih jelas, termasuk di dalamnya menyeleksi informasi yang
diterima, untuk segera dianalisa untuk dapat dilakukan tindakan selanjutnya.
Dalam penyeleksian informasi tersebut, keadaan darurat dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. Incerfa (Uncertainity Phase/ Fase meragukan)
:
Adalah suatu keadaan emergency yang ditunjukkan dengan adanya keraguan mengenai keselamatan jiwa seseorang karena diketahui
kemungkinan mereka dalam menghadapi kesulitan.
b. Alerfa (Alert Phase/ Fase Mengkhawatirkan/
Siaga) :
Adalah suatu keadaan emergency yang ditunjukkan dengan adanya kekhawatiran mengenai
keselamatan jiwa seseorang karena adanya informasi yang jelas bahwa mereka
menghadapi kesulitan yang serius yang mengarah pada kesengsaraan (distress).
c. Ditresfa (Ditress Phase/ Fase Darurat
Bahaya) :
Adalah suatu keadaan emergency yang ditunjukkan bila bantuan yang cepat sudah dibutuhkan
oleh seseorang yang tertimpa musibah karena telah terjadi ancaman serius atau
keadaan darurat bahaya. Berarti, dalam suatu operasi SAR informasi musibah yang diterima bisa ditunjukkan tingkat
keadaan emergency dan dapat langsung
pada tingkat Ditresfa.
3. Planning Stage (Tahap Perencanaan)
Adalah suatu pengembangan perencanaan yang efektif dari sistem SAR.
Di dalamnya dapat berupa :
·
Perencanaan pencarian dimana
sepatutnya dilaksanakan
·
Perencanan pertolongan dan
pembebasan akhir
Dapat
ditambahkan pula antara lain meliputi posisi yang paling mungkin dari korban,
luas areal SAR, tipe pola pencarian, perencanaan pencarian optimum, perencanaan
pencarian yang telah dicapai, memilih metode pertolongan terbaik, memilih titik
pembebasan yang paling aman bagi korban, memilih fasilitas kesehatan yang baik
bagi korban yang mengalami cedera atau penderitaan.
4. Operation Stage (Tahap Operasional)
Detection Mode/ Tracking Mode And Evacuation Mode, yaitu dilakukan operasi pencarian dan pertolongan serta penyelamatan
korban secara fisik. Tahap
operasi meliputi :
Fasilitas SAR
bergerak ke lokasi kejadian.
- Melakukan pencarian dan mendeteksi
tanda-tanda yang ditemui yang diperkirakan ditinggalkan survivor (Detection Mode).
- Mengikuti jejak
atau tanda-tanda yang
ditinggalkan survivor (Tracking Mode).
- Menolong/menyelamatkan dan
mengevakuasi korban (Evacuation Mode), dalam hal ini memberi perawatan
gawat darurat pada korban yang membutuhkannya dan membawa korban yang cedera kepada
perawatan yang memuaskan (evakuasi).
- Mengadakan briefing kepada SRU.
- Mengirim/memberangkatkan fasilitas
SAR.
- Melaksanakan operasi SAR di lokasi
kejadian.
- Melakukan penggantian/penjadwalan
SRU di lokasi kejadian.
5. Mission Conclusion Stage (Tahap Akhir Misi)
Merupakan tahap akhir operasi
SAR, meliputi membuat laporan
kegiatan SAR secara menyeluruh, penarikan kembali SRU dari lapangan ke posko,
penyiagaan kembali tim SAR untuk
menghadapi musibah selanjutnya yang sewaktu-waktu dapat terjadi, evaluasi hasil
kegiatan, mengadakan pemberitaan (Press Release) dan menyerahkan korban/survivor kepada yang berhak serta mengembalikan SRU
pada instansi induk masing-masing dan pada kelompok masyarakat.
VI.
Komponen SAR
1. Organisasi
Merupakan
struktur organisasi SAR, meliputi aspek pengerahan unsur koordinasi, komando
dan pengendalian, kewenangan, lingkup penegasan dan tanggung jawab
untuk penanganan suatu musibah.
2. Fasilitas
Adalah komponen
berupa unsur, peralatan, perlengkapan, serta
fasilitas pendukung lainnya yang
dapat digunakan dalam operasi SAR.
3. Komunikasi
Adalah komponen penyelenggaraan komunikasi sebagai
sarana untuk melakukan fungsi deteksi terjadinya musibah, fungsi komando
dan pengendalian operasi, membina
kerjasama/ koordinasi selama operasi SAR
berlangsung.
4. Emergency
Care (Perawatan Gawat Darurat)
Adalah komponen
penyediaan fasilitas perawatan gawat darurat yang bersifat sementara, termasuk
memberikan dukungan terhadap korban di tempat musibah sampai ke tempat yang
lebih memadai.
5. Dokumentasi
Adalah komponen
pendataan laporan dari kegiatan, analisa serta data-data kemampuan yang akan
menunjang efisiensi pelaksanaan operasi SAR serta untuk perbaikan atau
pengembangan kegiatan-kegiatan misi SAR yang akan datang.
VII. Organisasi SAR di
Indonesia
1.
Basarnas
Mempunyai tugas melaksanakan pengkoordinasian usaha dan kegiatan
pencarian, pemberian pertolongan dan penyelamatan sesuai dengan peraturan
nasional dan internasional terhadap orang atau barang yang hilang atau
dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam suatu kejadian.
2.
Kantor SAR
Kantor SAR adalah UPT
Basarnas di wilayah yang mempunyai tugas melaksanakan tindak awal, koordinasi,
dan pengerahan potensi SAR dalam rangka operasi SAR terhadap musibah pelayaran,
penerbangan, dan bencana lainya, serta pelaksanaan latihan SAR di wilayah
tanggungjawabnya (Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 81 tahun 1998 tentang
Organisasi Tata Kerja Kantor SAR, yang dahulu kita kenal dengan istilah adalah
KKR dan SKR dan sekarang berubah menjadi Kantor SAR (Type A dan B).
a. Kantor type A
Kantor SAR ini mempunyai tugas mengerahkan potensi SAR, koordinasi
dalam rangka operasi SAR terhadap musibah pelayaran, penerbangan, dan bencana
lainnya, serta pelaksanaan latihan SAR di wilayah tanggungjawabnya
b. Kantor Type B
Kantor SAR ini Mempunyai Tugas Melaksanakan tindakan koordinasi dan
pengerahan potensi SAR dalam rangka operasi SAR terhadap musibah di wilayahnya.

VIII. Organisai Misi SAR
Elemen organisasi SAR ini menunjukkan suatu bentuk misi organisasi
yang dibentuk untuk melaksanakan suatu operasi SAR. Bentuk dasar struktur
organisasi misi SAR adalah sebagai berikut :
Minimum Umum
|
|
![]() |
![]() |
||
Diperluas

1.
SC (SAR Coordinator)
Pejabat
pemerintah yang mempunyai wewenang dalam penyediaan fasilitas.
2.
SMC (SAR Mission Coordinator)
Seseorang yang mempunyai
pengetahuan dan kemampuan tinggi dalam menentukan MPP (Most Probable Position), menentukan area pencarian,strategi
pencarian (berapa unit, teknik, dan fasilitasnya).
3.
OSC (On Scene Commander)
Seseorang yang ditunjuk oleh SMC untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan SRU di
lapangan. OSC ini tidak mutlak ada, tapi juga bisa lebih dari satu, tergantung
wilayah komunikasi dan kesulitan
jangkauannya.
4.
SRU (SAR Unit)
Adalah unsur SAR yang digerakkan di lapangan pada operasi SAR dan
mengikuti pentahapan penyelenggaran operasi, SRU ini dapat dari instansi,
potensi SAR, masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam operasi SAR.
a. Tugas Utama SRU (Seacrh and Rescue Unit) :
1.
Melaksanakan tugas yang
diberikan oleh SMC atau OSC.
SRU wajib patuh terhadap tugas yang diberikan oleh SMC atau OSC. Apabila
keadaan menghendaki adanya perubahan, maka hanya dapat dilakukan setelah
konsultasi dan disetujui oleh SMC atau OSC. Penyimpangan atau melawan wewenang
dari SMC atau OSC sama sekali tidak dibenarkan dan SMC atau OSC wajib menarik
kembali SRU yang tidak disiplin.
2.
Melaksanakan prosedur pencarian
secara benar
Berbagai petunjuk pelaksanaan tugas harus dikerjakan secara seksama
dengan kewaspadaan dan ketelitian yang baik.
3.
Melapor segala kegiatan secara
berkala kepada SMC atau OSC pada waktu yang ditetapkan sambil konsultasi
mengenai berbagai keperluan dan kepentingan guna kelancaran operasi pencarian.
4.
Memasang rambu-rambu (Marker)
pada daerah pencarian guna membantu kelancaran serta ketepatan usaha dalam
sistem pencarian. Dapat berupa :
Ø Rambu tanda :
- String line (berikut tags/tanda-tanda)
- Ribbon (ikatan pita atau tali rafia)
Ø Rambu tertulis
v Petunjuk ketinggian suatu tempat
|
|
v Petunjuk arah ke suatu tempat
![]() |
![]() |
||
v Catatan Petunjuk Lapangan atau CPL yang berisi :
-
Tanggal, nomor regu, jumlah
anggota
-
Keterangan tugas
-
Keterangan tugas yang dilakukan
-
Petunjuk tempat-tempat yang
berbahaya (tanag longsor, jurang dsb)
-
Petunjuk diketemukan jejak,
tanda-tanda dsb, yang diperkirakan/dipastikan milik korban
-
Keterangan tambahan pada CPL
oleh regu berikutnya yang melewati tempat terdapatnya CPL. Keterangan ini dapat
ditambahkan bila dianggap perlu oleh SRU guna melengkapi keterangan yang sudah
ada.
5.
Memberikan pertolongan pertama
pada korban bila diperlukan. Pertolongan harus diberikan dengan pengetahuan
serta kesadaran kemanusiaan yang tinggi .
6.
Melaksanakan evakuasi korban,
baik dalam keadaan sehat, sakit ataupun sudah meninggal.
7.
Dapat melakukan hubungan
komunikasi radio dengan baik dan jelas sesuai prosedur standar operasi radio
yaitu dengan menggunakan HT. Juga mengerti kode yang telah disepakati bersama
untuk keadaan darurat.
8.
Membuat laporan kerja secara
tertulis bila diminta oleh SMC atau OSC.
b. Perlengkapan Wajib SRU
Selain membawa perlengkapan standar untuk menjelajah rimba dan
gunung, anggota SRU wajib memebawa beberapa perlengkapan yang dikategorikan
sebagai perlengkapan wajib bila akan bergabung dalam suatu operasi SAR.
Peralatan itu berupa :
- Perorangan
- Ponco atau jas hujan
- Golok tebas
- Peluit
- Tempat air
- Senter dan bola lampu serta
baterai cadangan secukupnya
- Makanan untuk 4 hari (bila
rencana mengikuti SAR selama 3 hari).
- Regu
- Tenda
- Peta, kompas, altimeter,
penggaris busur
- Peralatan masak (kompor + bahan
bakar, nesting)
- Peralatan Rock Climbing
(karmentel, harness, jumar, piton, hammer, descender, sling dsb)
- Alat komunikasi (HT, dsb)
- Benang (untuk string
line)sejumlah 4 kelos @ 500 m
- Tali rafiah 500 gr
- Obat-obatan dan peralatan P3K
- Jerigen air 5 lt
- Senter besar/ lampu penerangan
(neon baterai, lampu badai)
EXPLORER SEARCH AND RESCUE (ESAR)
I. Pendahuluan
Pada awal tahun 1980-an beberapa kelompok pendaki gunung mulai
mencoba mengembangkan Explorer Search And Rescue (ESAR). Sistem ini berasal
dari Amerika Serikat yang diperuntukan bagi para penjelajah daerah-daerah
berhutan, padang kering dan sungai. Pada tahun-tahun sebelumnya system SAR laut
dan udara masih menjadi rujukan untuk melakukan pencarian orang hilang di
gunung. Yang membedakan ESAR dengan induknya SAR secara keseluruhan terletak
pada rinci operasionalnya. Dalam ESAR dikenal lima tahap pencarian atau
operasi.
II. Maksud dan Tujuan
Menolong sesama hidup merupakan salah satu bukti dari pengamalan
rasa cinta alam. Sehingga sebagai mahluk hidup yang mengaku dekat dengan
alam, Explorer Search And Rescue amatlah
dibutuhkan, khususnya untuk menolong sesama hidup. Lebih dipersempit lagi ruang
lingkup operasionalnya dalam menolong korban di gunung dan hutan.
Materi ini bertujuan memberikan pengetahuan tentang teknik
operasional dalam ESAR sasuai dengan apa yang dibutuhkan. Sebab ESAR memerlukan
dan menuntut personil yang siap, cepat dan tanggap. Personil ESAR diharapkan
mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, yang bukan berasal dari kata tugas,
melainkan dari panggilan moral, hati nurani dan sebuah arti kesetiakawanan
terhadap sesama.
III. Teknik-teknik Pencarian
Dalam pencarian terdiri dari empat unsur yang dapat dijadikan
standar dalam menentukan ketrampilan tertentu yang dibutuhkan bagi suatu
operasi SAR :
No.
|
Unsur
|
Pengetahuan
|
1.
|
Locate
(menentukan lokasi korban)
|
Pengetahuan
tentang navigasi darat, data peristiwa, keadaan korban, keadaan medan dll.
|
2.
|
Reach
(mencapai korban)
|
Ketrampilan
mendaki gunung, RC, hidup di alam, mencari jejak, penguasan peta dan kompas,
dll.
|
3.
|
Stabilize
(menentramkan korban)
|
Pengetahuan
dan ketrampilan PPPK, gawar darurat.
|
4.
|
Evacuate
(membawa kembali korban)
|
Sama dengan reach serta penguasaan P3K.
|
Teknik pencarian disini merupakan teknik pencarian yang dilakukan di
darat. Walaupun tidak secara khusus untuk di darat, teknik ini juga yang
membedakan antara SAR dan ESAR. Teknik pencarian ini bertumpu pada lima tahap.
1.
Tahap Awal (Preliminary Mode)
Yaitu mengumpulkan informasi-informasi awal, saat dari mulai tim-tim
pencari diminta bantuannya sampai kedatangannya di lokasi. Melakukan
perencanaan pencarian awal, perhitungan-perhitungan, mengkoordinasikan regu
pencari, memebentuk pos pengendali perencanaan, mencari identitas subjek,
perencanaan operasi dan evakuasi.
2.
Tahap Pemagaran (Confinement
Mode)
Yaitu memantapkan garis batas untuk mengurung orang yang dinyatakan
atau dikhawatirkan hilang agar berada di dalam areal pencarian (search area). Untuk lebih jelasnya akan
dibahas dalam bagian tersendiri.
3.
Tahap Pengenalan (Detection
Mode)
Yaitu pemeriksaan-pemeriksaan terhadap tempat-tempat yang dicurigai.
Apabila dirasa perlu, dilakukan pencarian dengan cara menyapu (sweep searches). Bisa juga dilakukan
pemeriksaan terhadap tempat-tempat yang diketemukan tanda-tanda atau
barang-barang yang ditinggalkan oleh survivor.
Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalan bagian tersendiri.
4.
Tahap Pelacakan (Tracking Mode)
Yaitu mengikuti dan melacak jejak yang ditinggalkan oleh survivor atau pelacakan terhadap
barang-barang yang tercecer dari survivor.
Tracking bisa benar-benar dilakukan
oleh orang-orang yang terlatih dan berpengalaman serta mempunyai kemampuan
melacak yang tinggi antara lain membaca jejak, medan peta kompas, mengerti
maksud dan tujuan korban, makna dari benda-benda yang terjatuh dan sengaja
ditinggal korban atau dengan menggunakan anjing pelacak. Dari beberapa
pengalaman, pelacakan dengan anjing pelacak masih belum bisa dilakukan secara
baik untuk kondisi alam Indonesia. Hal ini dikarenakan faktor alam yang sulit
dan ekstrim serta cepat berubah.
5.
Tahap Evakuasi (Evacuation
Mode)
Yaitu memberikan pertolongan pertama dan membawa survivor ke titik penyerahan untuk perawatan lebih lanjut. Tiga hal pokok
yang harus dilakukan pencari apabila berhasil menemukan Survivor dalam keadaan
hidup:
a.
Memberikan pertolongan pertama
bila diperlukan. Dalam hal ini personil harus benar-benar memiliki kemampuan
pertolongan pertama, karena kalau salah menangani akan mengakibatkan korban
bertambah parah bahkan bisa meninggal.
b.
Meyakinkan pada survivor bahwa Ia akan selamat
c.
Mengabarkan ke pangkalan
pengendali tentang kondisi dan lokasi ditemukannya survivor.
Bila survivor dalam
keadaan meninggal :
a.
Tidak boleh merubah posisi survivor sebelum ada perintah dari SMC
b.
Menjaga survivor dari segala gangguan yang mungkin terjadi
c.
melaporkan ke pangkalan untuk
dievakuasi
Teknik yang digunakan dalam evakuasi :
a.
Memapah
b.
Memandu
c.
Bantuan helikopter
d.
Modifikasi dari teknik yang ada
IV. Tahap Pemagaran (Confinement Mode)
Dasar pemikirannya adalah menjebak survivor dalam area yang jelas dan kita dapat mengetahui
batasan-batasannya, sehingga :
·
Area tersebut dapat dilakukan
pencarian atau disapu.
·
Sebagai petunjuk bagi survivor untuk menuju tempat yang dapat
diketahui tim pencari.
Kerja awal dari tahap ini adalah memagari kemungkinan gerak dari
pencarian yang padat yang mungkin diperlukan bila areal pencarian menjadi
terlalu luas.
Metode Confinement
:
1.
Trail Blocking (razia pada jalan setapak)
Yaitu menempatkan tim kecil pada jalan masuk ke areal pencarian
untuk menjaga kemungkinan korban melalui daerah tersebut. Mencatat nama-nama
yang keluar masuk areal pencarian tersebut.
2.
Road Bolcks (razia pada jalan keluar)
Pada dasarnya sama dengan trail
blocks, hanya saja disini masyarakat, pamong desa dapat diminta bantuan
untuk melakukan pengawasan kemungkinan korban keluar melalui desa mereka atau
dengan meminta bantuan petugas keamanan atau tenaga yang lainnya.
3.
Look Outs
Mengadakan “pengintaian” dengan menempatkan regu-regu kecil di
ketinggian untuk dapat mendeteksi dan mengawasi daerah-daerah sekitar yang
lebih rendah untuk mendeteksi dan mengawasi bila ada yang bergerak, membuat
asap, tanda-tanda dari survivor jika
berada di sekitar daerah itu. Juga menggunakan tanda-tanda yang menyolok untuk
menarik perhatian survivor, misalnya
bunyi-bunyian, lampu, sinar, api, asap dll.
4.
Camp In
Yaitu mendirikan pos-pos di lokasi yang strategis, misalnya saja
persimpangan jalan atau pertemuan aliran sungai. Dari Camp In ini tim pencari dapat bergerak melakukan pencarian di
daerah sekitar.
5.
Track Traps (jalur jebakan)
Yaitu jalur setapak atau tempat-tempat tertentu yang kemungkinan
besar akan dilalui oleh korban karena tempat tersebut secara alamiah dan
naluri, besar kemungkinannya akan dipilih atau dilewati korban, misal jalur
air, mata air, gua, tempat datar dsb. Tim pencari dapat membuat jebakan buatan,
misal dengan menggemburkan tanah disekitar jalur. Periksalah secara berulang
area itu secara berkala untuk melihat jejak korban.
6.
String Lines
Yaitu pembatas buatan berupa jalur benang atau tali yang ditarik
mengikuti jalur tertentu yang diharapkan akan membatasi ruang gerak korban.
Bila string line tersebut diketemukan
oleh korban, ia akan dituntun menuju tempat tertentu misal jalan setapak, camp in dsb (lihat gambar). Secara
khusus akan efektif bila dilakukan pada daerah-daerah terbuka dimana cara
pandangnya baik.
Bila daerahnya berpohon dan bersemak lebat, dapat lebih
sempurna dengan menggunakan Tagged String Lines (bentangan tali yang
bertanda). Tags (tanda-tanda) pada string lines akan menarik perhatian survivor untuk bergerak mengikuti tali
itu dan keluar menuju tempat yang ditunjukkan oleh tanda-tanda itu. (lihat
gambar)

Tujuan menggunakan string line
adalah menjadikan ruang-ruang atau kotak-kotak search area menjadi sektor yang terkuasai untuk pencarian tim
pencari. Setelah Initial Confinement
(pemagaran awal), tambahan string line
dapat digunakan untuk membagi-bagi area itu. String line dapat digunakan untuk pemagaran dan untuk menandai
sektor pencarian. Pemisahan lebih lanjut ini bertujuan untk mempersempit areal
pencarian yang dilakukan oleh tim pencari.
V. Tahap Pengenalan (Detection Mode)
Detection adalah usaha untuk mencari korban atau benda yang tercecer/terjatuh
atau sengaja ditinggalkan survivor.
Pada keadaan inilah pasukan atau tenaga dari tim ESAR terutama diperlukan atau
digunakan.
Metode detection, dikelompokkan ke dalam tiga
kategori. Penamaan dari ketiga kategori di bawah ini telah digunakan dalam ESAR
untuk beberapa tahun ini, diambil karena hal ini secara umum bertalian terhadap
tahapan dari pengembangan operasi pencarian. Tipe I umumnya mendahului tipe II,
tipe II muncul sebelum tipe III.
1.
Tipe I Search
Yaitu
pemeriksaan tidak resmi yang segera dilakukukan terhadap areal yang dianggap
paling memungkinkan. Penamaan lain untuk tipe ini adalah Reconnaisance atau Hayt
Searching/pencarian terburu-buru.
a.
Metode ini digunakan pada :
ü Tahap pencarian awal
ü Memeriksa ulang daerah dimana diduga survivor berada
b.
Sasaran metode ini :
ü Pemeriksaan yang segera atas area yang spesifik dimana survivor
diduga berada
ü Memperoleh informasi mengenai areal pencarian
c.
Teknik yang digunakan
Sebuah tim kecil yang terdiri dari 3-6 orang yang mampu bergerak
cepat untuk memeriksa daerah pencarian. Bila menemukan barang yang tercecer dan
bila SMC (SAR Mission Coordinator)
menghendaki barang tersebut dibawa, maka sebuah marker akan dipasang dan ditempatkan di lokasi penemuan.
2.
Tipe II Search
Kriterianya
adalah efisiensi, pemeriksaan yang cepat dan sistematis atas area yang luas,
dengan metode penyapuan yang akan menghasilkan hasil akhir yang tinggi dari
setiap pencari per jam kerjanya. Nama lain dari tipe ini adalah open grids (pencarian grid
renggang/penyapuan renggang).
a.
Metode ini digunakan pada :
ü Tahap awal operasi pencarian, terutama bila jangka waktu orang yang
bertahan hidup diperkirakan sangat pendek
ü Bila areal pencarian luas dan tidak ada areal tertentu yang dapat
dicurigai dan tidak tersedia cukup tenaga pencari yang dapat mengcover keseluruhan area.
b.
Sasaran metode ini adalah
pencarian yang tepat dan cepat pada areal yang luas.
c.
Teknik yang digunakan
Sebuah tim kecil yang terdiri dari 3-6 orang, yang sejajar dengan
jarak yang cukup lebar antara 10 sampai 20 meter dengan arah yang telah
ditentukan. Ada baiknya ada seorang pemimpin tim yang bergerak mengawasi
penyapuan, tugasnya :
ü Memperhatikan apakah penegang kompas dapat menjaga sudut kompas yang
sejajar
ü Mengatasi hal-hal yang muncul mendadak
ü Memeriksa penemuan-penemuan yang ditemukan oleh tim
Ada cara umum untuk mencegah regu pencari saling tumpang tindih satu
sama lain atau tidak bisa menjaga jarak yang telah ditentukan diantara mereka
yaitu dengan memakai pita atau ribbon
dan menggunakan kompas.
Pada metode I dan II pada selang waktu tertentu regu berhenti untuk
memperhatikan sekilas sekitarnya serta memanggil survivor sambil menanti kemungkinan jawaban. Contoh pencarian dan
penyapuan pada metode tipe II (lihat gambar).

Keterangan:
1.
Tim terdiri dari 6 orang
memeriksa kedua tepi sungai kecil.
2.
A & B, personil ujung kiri
dan kanan memasang marker (catatan
petunjuk lapangan), dan string line/ribbon.
3.
C adalah petugas kompas/kompas
man yang selalu memeriksa bahwa pencarian sesuai arah kompas.
4.
X adalah pimpinan SRU yang
mondar-mandir sekitar barisan sambil memeriksa dan memastikan jarak personil
terjaga dan juga melihat situasi sekitar medan, apakah perlu ada perubahan arah
atau sistem pencarian.
5.
Z adalah navigator, yang
bertugas membantu kompas man untuk memastikan agar sudut pencarian tidak
melenceng.
Bila alat
komunikasi cukup, maka idealnya X, A, dan B masing-masing membawa HT.
3.
Tipe III Search
Kriterianya adalah kecermatan, pencarian dengan sistematika yang
ketat atas area yang lebih kecil menggunakan metode penyapuan yang cermat.
Dinamakan juga close grids (pencarian
grid rapat/ penyapuan rapat).
a.
Metode ini digunakan pada :
ü Besarnya kemungkinan objek yang ditemukan dalam areal pencarian pada
metode tipe II, lebih rendah dari apa yang diharapkan
ü Bila areal pencarian terbatas dan tenaga yang tersedia mencukupi
b.
Sasaran metode ini adalah
pencarian yang cermat atas areal yang spesifik
c.
Teknik yang digunakan
Penyapuan dengan jarak yang sempit. Jumlah anggota tim 3-9 orang
dengan jarak kira-kira antar personil 3 sampai 5 meter. Pita-pita atau sring line banyak digunakan untuk
mengontrol dalam memberi tanda yang jelas antara areal yang sudah dicari dan
yang belum. Contoh pencarian dan penyapuan pada metode tipe III (lihat gambar).
Ø Tim yang menggunakan kompas
man untuk pencarian dan penyapuan.
C = Kompas man

Ø Tiga tim menggunakan kompas
sebagai unit kontrol dalam penyapuan.
C = Kompas man

Ø Tiga tim pada penyapuan sejajar menggunakan ribbon (potongan tali rafiah/pita) sebagai unit kontrol dalam
penyapuan.(lihat gambar)

VI. Sikap Mental Selama Pencarian
1.
Cepat tanggap. Pentingnya cepat
tanggap untuk mencegah :
a.
Sangat cepatnya meluasnya areal
pencarian yang potensial
b.
Meningkatnya kesulitan
pencarian berkaitan dengan mobilitas dan reaksi
2.
Dalam melakukan pencarian
jangan terlalu terburu-buru, hendaknya dilakukan dengan kecermatan dan
keteletian. Hal ini untuk mengindari kemungkinan survivor tidak terdeteksi saat dilakukan penyapuan.
3.
Pencarian adalah hal yang
menarik. Bila pencarian kita anggap sebagai hal menarik, maka hasilnya akan
lebih efektif. Kesungguhan, perhatian penuh dan sikap agresif dalam mengawasi merupakan komponen yang
berharga bagi kerja pencarian.
4.
Pentingnya mencari jejak atau
barang yang tercecer. Penemuan jumlah jejak dan barang yang tercecer di dalam
area, diperkirakan akan lebih banyak dari survivor.
Penemuan juga dapat merupakan pemasukan yang penting bagi penyempitan areal
pencarian.
MANAJEMEN BENCANA
(DISASTER
MANAGEMENT)
A. Pengertian
a.
Bencana (Disaster)
Suatu kejadian (baik alami maupun tidak alami) yang
menyebabkan kerusakan fisik dalam skala besar, baik terhadap lingkungan hidup
maupun infrastruktur dan mengancam jiwa banyak manusia di dalam suatu komunitas
atau lokasi.
b.
Bagaimana bencana dapat terjadi ?

§ Ancaman (Hazard)
Fenomena, bahaya, atau resiko, baik alami maupun tidak
alami yang dapat (tetapi belum tentu) menimbulkan bencana. Contoh : gempa bumi,
banjir, tanah longsor, kekeringan, wabah penyakit dan sebagainya.
§ Kerentanan(Vulnerability)
Keadaan di dalam suatu komunitas yang membuat mereka
mudah terkena akibat buruk dari suatu ancaman. Jenis kerentanan dapat
digolongkan menjadi kerentanan fisik, sosial dan psikologi.
B. Manajemen Bencana (Disaster Management)
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untk mengendalikan
bencana dan keadaan darurat, sekaligus memberikan kerangka kerja untuk menolong
masyarakat dalam keadaan beresiko tinggi agar dapat menghindari ataupun pulih
dari dampak suatu bencana.
Tujuan :
1.
Mengurangi atau menghindari
kerugian secara fisik, ekonomi, maupun jiwa yang dialami oleh orang, masyarakat
dan Negara.
2.
Mengurangi penderitaan
3.
Mempercepat pemulihan
4.
Memberi perlindungan kepada
pengungsi atau masyarakat yang kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam.
Tahapan Penanganan Bencana
|
|||||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||
Keterangan :
- Penanganan Darurat/Tanggap Darurat (Emergency Response)
Upaya untuk menyelamatkan jiwa dan melindungi harta
serta menangani gangguan, kerusakan dan dampak lain dari suatu bencana.
Keadaan darurat :
Kondisi yang diakibatkan oleh suatu kejadian luar
biasa yang berada di luar kemampuan masyarakat untuk menghadapinya dengan
sumber daya atau kapasitas yang ada. Dalam kondisi tersebut mengakibatkan
masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dan terjadi penurunan
drastis terhadap kualitas hidup, kesehatan atau ancaman secara langsung
terhadap keamanan banyak orang di dalam suatu komunitas/lokasi.
- Pemulihan (Recovery)
Suatu proses yang dilalui agar kebutuhan pokok
terpenuhi. Proses recovery terdiri
dari :
- Rehabilitasi
Perbaikan yang dibutuhkan secara langsung yang sifatnya sementara
atau jangka pendek
- Rekonstruksi
Perbaikan yang sifatnya permanen
- Pencegahan (Prevention)
Upaya untyuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan
timbulnya suatu ancaman, misalnya pembuatan bendungan untuk menghindari
terjadinya banjir. Namun perlu disadari bahwa pencegahan tidak bisa sepenuhnya
efektif terhadap sebagian besar ancaman.
- Mitigasi (Mitigation)
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk
dari suatu ancaman. Misalnya, penataan kembali lahan desa agar terjadinya
banjir tidak menimbulkan kerugian besar.
- Kesiap-siagaan (Preparedness)
Persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi (atau
kemungkinan akan terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap
kebutuhan-kebutuhan dalam keadaan darurat dan identifikasi atas sumber daya
yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan dapat mengurangi dampak
buruk dari suatu ancaman.
Beberapa bentuk kesiap-siagaan :
§ Pengembangan jaringan informasi dan Sistem Peringatan Dini (Early
Warning System/EWS)
§ Perencanaan evakuasi dan persiapan stok kebutuhan pokok (suplai
pangan,obat-obatan dll)
§ Perbaikan infrastruktur yang dapat digunakan dalam keadaan darurat
seperti fasilitas komunikasi, jalan, kendaraan, gedung-gedung sebagai tempat
penampungan dll.
§ Persiapan sumber daya manusia, termasuk orang-orang yang siap
menjadi komite koordinasi dalam keadaan darurat.
SALAM LESTARI !!!
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.